SEKOLAH BEDUYA MUTU
A. Pengertian
sekolah budaya mutu
Sekolah dasar budaya mutu adalah sekolah dasar yang
memberikan layanan prima yang merefleksikan budaya mutu. Budaya mutu merupakan
pelaksanaan dari aturan dan tata tertib yang disepakati oleh warga sekolah ,
dihayati dan dilakukan terus menerus sehingga menjadi sebuah kebiasaan.
Kebiasaan baik yang melembaga muaranya adalah tembentuknya karakter peserta
didik lebih luasnya tercermina pada tujuan pendidikan Nasional yaitu
meningkatkan mutu manusia Indonesia yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri,
maju, tangguh, cerdas, kreatif, trampil, berdisiplin, beretos kerja,
profesional, bertanggung jawab dan produktif, serta sehat jasmani dan rohani
(UU Sisdiknas, 2003).
B. Hakekat
mutu pendidikan
Secara
umum, mutu dapat diartikan sebagai gambaran dan karakteristik menyeluruh dari
barang dan jasa yang menunjukkan kemamapuannya dalam memuasakan kebutuhan yang
diharapakan atau yang tersirat. Dalam konteks pendidikan, pengertian mutu
mencakup input, proses, dan output pendidikan (Depdiknas, 2001).
Input pendidikan adalah segala sesuatu
yang harus tersedia karena dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. Sesuatu yang
dimaksud berupa sumber daya dan perangkat lunak serta harapan-harapan sebagai
pemandu bagi berlangsungnya proses. Input sumber daya meliputi sumber daya
manusia (kepala sekolah, guru termasuk guru BP, karyawan dan siswa) dan sumber
daya selebihnya (peralatan, perlengkapan, uang, bahan dan sebagainya). Input
perangkat lunak meliputi struktur organisasi sekolah, peraturan
perundang-undangan, deskripsi tugas, rencana dan program. Input harapan-harapan
berupa visi, misi, tujuan dan sasaran-sasaran yang ingin dicapai oleh sekolah.
Kesiapan input sangat diperlukan agar proses dapat berlangsung dengan baik.
Oleh karean itu rendahnya mutu input dapat diukur dari tingkat kesiapan input.
Makin tinggi tingkat kesiapan input,
makin tinggi pula mutu input tersebut.
Proses pendidikan merupakan berubahnya
sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Sesuatu yang berpengaruh terhadap
berlangsungnya proses tersebut disebut input, sedang sesuatu hasil dari proses
disebut output. Dalam pendidikan berskala mikro (sekolah), proses yang dimaksud
adalah proses pengambilan keputusan, proses pengelolaan kelembagaan, proses
pengelolaan program, proses belajar mengajar, dan proses monitoring dan
evaluasi, dengan catatan bahwa proses belajar mengajar memilki tingkat
kepentingan tertinggi dibandingkan dengan proses-proses lainnya.
Proses dikatakan bermutu tinggi apabila
pengkoordinasian dan penyerasian serta pemaduan input sekolah (guru, siswa,
kurikulum, uang, peralatan, dan sebagainya) dilakukan secara harmonis, sehingga
mampu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangan (enjoyable learning),
mampu mendorong motivasi dan minat belajar dan benar-benar mampu memberdayakan
peserta didik. Kata memberdayakan mengandung arti bahawa peserta didik tidak
sekedar menguasai pengetahuan yang idajarkan oleh gurunya, tetapi pengetahuan
tesebut juga telah menjadi muatan nurani peserta didik, dihayati, diamalkan
dalam kehidupan sehari-hari dan yang lebih penting lagi peserta didik tersebut
mampu belajar cara belajar (mampu mengembangkan dirinya).
Output pendidikan adalah merupakan
kinerja sekolah. Kinerja sekolah adalah prestasi sekolah yang dihasilkan dari
proses/perilaku sekolah. Kinerja sekolah dapat diukur dari kualitasnya,
efektivitasnya, produktivitasnya, efesiensinya, inovasinya, kualitas kehidupan
kerjanya dan moral kerjanya. Khusus yang berkaitan dengan mutu output sekolah,
dapat dijelaskan bahwa output sekolah dikatakan berkualitas atau bermutu tinggi
jika prestasi sekolah, khususnya prestasi siswa, menunjukkan pencapaian yang
tinggi dalam: (1) prestasi akademik, berupa nilai ulangan umum, nilai ujian
akhir, karya ilmiah, lomba-lomba akademik; dan (2) prestasi non-akademik,
seperti misalnya IMTAQ, kejujuran, kesopanan, olahraga, kesenian, keterampilan
dan kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler lainnya. Mutu sekolah dipengaruhi oleh
banyak tahapan kegiatan yang saling berhubungan (proses) seperti misalnya
perencanaaan, pelaksanan, dan pengawasan.
C. Faktor penyebab rendahnya mutu pendidikan di sekolah
1. Rendahnya kualitas sarana fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak
sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan
penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara
laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan
sebagainya.
2. Rendahnya kualitas guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat
memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana
disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran,
melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan,
melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di
Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut
kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb:
untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk
SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73%
(swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).
3. Rendahnya kesejahteraan guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai
peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei
FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya
seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang,
pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460
ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan
pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan
sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari,
menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa
ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
4. Kurangnya pemerataan kesempatan pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih
terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan
Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan
Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4%
(28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka
Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta
siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan
pembinaan dalam usia dini nantinya
5. Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari
banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak
tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU
sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada
periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing
tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%.
6. Mahalnya biaya pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat
ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan
masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari
Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin
tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah orang miskin tidak boleh
sekolah.
Pendidikan berkualitas memang tidak
mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi
persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang
berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin
akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi,
kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab..
D. Apa
yang menjadi tantangan upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah
Di bawah ini akan
diuraikan beberapa tantangan peningkatan kualitas pendidikan di sekolah secara umum, yaitu:
1. Efektifitas pendidikan di Indonesia yang masih
rendah
Efektifitas pendidikan di Indonesia
sangat rendah. Setelah praktisi pendidikan melakukan penelitian dan survey ke
lapangan, salah satu penyebabnya adalah tidak adanya tujuan pendidikan yang
jelas sebelm kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Hal ini menyebabkan peserta
didik dan pendidik tidak tahu “goal” apa yang akan dihasilkan sehingga tidak
mempunyai gambaran yang jelas dalam proses pendidikan.
2. Efisiensi pengajaran di sekolah yang masih
bermasalah
Efisien adalah bagaimana menghasilkan
efektifitas dari suatu tujuan dengan proses yang lebih ‘murah’. Dalam proses
pendidikan akan jauh lebih baik jika kita memperhitungkan untuk memperoleh
hasil yang baik tanpa melupakan proses yang baik pula. Hal-hal itu jugalah yang
kurang jika kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan
prosesnya, hanya bagaimana dapat meraih standar hasil yang telah disepakati.
Konsep efisiensi selalu dikaitkan dengan
efektivitas. Efektivitas merupakan bagian dari konsep efisiensi karena tingkat
efektivitas berkaitan erat dengan pencapaian tujuan relative terhadap harganya.
Apabila dikaitkan dengan dunia pendidikan, maka suatu program pendidikan yang
efisien cenderung ditandai dengan pola penyebaran dan pendayagunaan
sumber-sumber pendidikan yang sudah ditata secara efisien. Program pendidikan
yang efisien adalah program yang mampu menciptakan keseimbangan antara
penyediaan dan kebutuhan akan sumber-sumber pendidikan sehingga upaya
pencapaian tujuan tidak mengalami hambatan.
3. Standardisasi pendidikan di Indonesia
Seperti yang kita lihat sekarang ini,
standar dan kompetensi dalam pendidikan formal maupun informal terlihat hanya
keranjingan terhadap standar dan kompetensi. Kualitas pendidikan diukur oleh
standar dan kompetensi di dalam berbagai versi, demikian pula sehingga dibentuk
badan-badan baru untuk melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut
seperti Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP).
Peserta didik terkadang hanya memikirkan
bagaimana agar mencapai standar pendidikan saja, bukan bagaimana agar pendidikan
yang diambil efektif dan dapat digunakan. Tidak perduli bagaimana cara agar
memperoleh hasil atau lebih spesifiknya nilai yang diperoleh, yang terpenting
adalah memenuhi nilai di atas standar saja.
4. Perubahan Sikap dan perilaku birokrasi pendidikan
dari sikap sebagai birokrat menjadi sikap dan perilaku sebagai pelayan
pendidikan yang masih sulit dilaksanakan.
5. Alokasi anggaran yang langsung berkaitan dengan
proses belajar mengajar masih terbatas
6. Tidak meratanya tenaga guru di sekolah-sekoalh
akibat distribusi tenaga guru di Indonesia yang
timpang
7. Penerapan
pola manajemen berbasis sekolah bertentnagan
kebijakan pendidikan gratis yang disalahgunakan oleh kepentingan politik
tetrtentu di daereh, sehingga masyarakat salah memahami prinsip kebijakan
pendidikan gratis itu sendiri.
8. Adanya
kesenjangan kualitas pendidikan antara daerah perkotaan dengan daerah pedesaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar